melayang

melayang

Minggu, 06 November 2011

KONSEP PANCA YADNYA DAN FILOSOFI NILAI DALAM KELANGSUNGAN HIDUP UMAT HINDU


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Ajaran agama Hindu memiliki kerangka yang kuat, karena menampilkan ajaran Tatwa, susila dan yadnya.Tatwa mengisi kecerdasan otak.Melatih memandang rahasia-rahasia yang dimiliki Tuhan, dan rahasia dalam diri, serta rahasia-rahasia dalam alam lingkungannya.Dengan demikian manusia atau umat Hindu wajar berpikir sedalam-dalamnya tentang hal tersebut.Susila adalah menyuguhkan ajaran untuk melatih tingkah laku yang berperan menumbuhkan peningkatan rasa pada setiap pemeluk.Disinilah kemantapan dari humanisme yang kekal.Masyarakat Bali yang mayoritas adalah penganut agama Hindu, mempunyai suatu kepercayaan yang tidak lepas dari kebudayaan Bali. Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan istilah PancaYadnya yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Yadnya adalah menyuguhkan ajaran rela berkorban yang pada hakikatnya adalah memelihara hidup, sebab semua yang hidup di dunia ini bermula dari Yadnya dan tidak terlepas dengan Yadnya itu sendiri.Diketahui makhluk dengan isinya diciptakan Tuhan berdasarkan Yadnya.

1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang kami angkat dalam penyusunan makalah ini adalah apa yang menjadi dasar dan apa yang menjadi tujuan kita ber Yadnya.




1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk mengetahui tentang bagaimana proses pelaksanaan dan apa saja yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Panca Yadnya.

BAB 2
TEORI-TEORI


Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, akar-akar “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan, pengorbanan, menjadikan suci.Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.
Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata, Ramayana sangat tepat ksatria yang ber Yadnya di medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan kebenaran dan keadilan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai amalan agama mengandung pengertian:
1.      Merupakan sistem persembahyangan dalam kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Merupakan prinsip berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup menuju hidup bahagia.
Bukankah akibat Tuhan berbuat Yadnya itu menimbulkan rnam.Rnam berarti hutang.Kemudian agar tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus dibayarkan dengan Yadnya. Demikian adanya atas dasar Tri Rna.
Dibayar dengan Panca Yadnya yakni:
a.   Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya.
b.   Rsi Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
c.   Pitra Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya.
Memang konsep agama hindu adalah mewujudkan keseimbangan. Denganterwujudnya keseimbangan, berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di dunia.Untuk umat Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu:
1.      Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya.
2.      Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya.

Pertama:
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:
a.       Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang mempergunakan harta milik sebagai sarana korban.
b.      Tapa Ydnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana berkorban.
c.       Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, member pandangan-pandangan, atau buah pikiran yang berguna, sebagai sarana korban.
d.      Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan tingkat tertingi yakni semadhi, sebagai sarana berkorban.
e.       Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan mengorbankan diri demi kepentingan dharma. Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka mengorbankan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut Yadnya.



Kedua:
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju.Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70 tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah,
pitryapastu tarpanam,
homo daiwo balikbaurto,
nryajna ‘tihti pujanam.”
Artinya :
Mengajar dan belajar adalah Yadnya bagi Brahmana, menghaturkan minyak, susu adalah Yadnya untuk para Dewa, menghaturkan bali adalah Yadnya untuk para bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah Yadnya bagi manusia.

jadi, berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan Panca Yadnya itu sebagai berikut:
1.      Dewa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan untuk para Dewa.
Asal kata Dewabersal dari  bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi Wasa.
2.      Rsi Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada brahmana atau para Rsi.
Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
3.      Pitra Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada leluhur.
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
4.      Bhuta Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan kepada para Bhuta Kala.
Bhuta artinya unsur-unsur alam.
5.      Manusa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan pada manusia.
Manusa artinya manusia.



BAB3
PEMBAHASAN


3.1  Dewa Yadnya
Dewa Yadnya berarti persembahan suci ditujukan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa serta segala manifestasinya.
Adapun tujuan utama melaksanakan Dewa Yadnya adalah:
1.      Menyampaikan rasa hormat, bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan nikmat yang dianugerahkan kepada umatNya.
2.      Memohon perlindungan, berkah, kesejahteraan, panjang umur, kesaksian, kemuliaan, bimbingan untuk menuju keselamatan umat, bangsa dan negara.
3.      Mengucapkan syukur atas peningkatan sesucian lahir batin dengan didasari oleh pembersihan akan bayu, sabda dan idep, yaitu paridhanya laksana kata-kata dan pikiran.
Kalau demikian halnya berarti perbuatan-perbuatan di bawah ini yang termasuk amalan dari Dewa Yadnya
Misalnya:
a.       Melaksanakan persembahyangan kepada sang hyang Widhi.
b.      Mempelajari dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan ajaran tentang ketuhanan.
c.       Berziarah ke tempat-tempat suci dan mengembangkan ajaran Dharma.
d.      Membangun tempat-tempat ibadah.
e.       Berdana punia bila ada upacara di Pura.
f.       Menghaturkan canang dengan sarinya tatkala melakukan persembahyangan.
g.      Bakti sosial (ngayah) pada suatu tempat-tempat suci dengan penih keikhlasan.
Perbuatan semacam inilah termasuk perbuatan Dewa Yadnya yang mulia bila dilaksanakan dengan kesadaran batin dan tanpa pamrih. Bukannya besar harta benda yang  menjadi ukuran, tetapi dasar ketulus-ikhlasan itulah yang utama.
            Disisi lain bila ditelusuri tentang hari-hari pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dibedakan dua macam, yaitu Nitya Yadnya dan Naimitika Yadnya. Kedua macam pelaksanaan Dewa Yadnya ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Nitya Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya seperti:
1.      Menghaturkan banten canang sari setiap hari
2.      Menghaturkan Yadnya sesa setiap hari sehabis masak
3.      Melaksanakan Puja Tri Sandhya setiap hari
b.      Naimitika Yadnya, artinya melaksanakan Dewa Yadnya berkala dalam sasih dan pertahun, untuk ini dapat diuraikan satu persatu, yaitu:
1.      Melaksanakan Dewa Yadnya berdasarkan hari, Hari Tri Wara, Panca wara, Sapta Wara dan wuku, yaitu:
a)      Melaksanakan Dewa Yadnya pada hari Kliwon adalah memuja Dewa Siwa.
b)      Hari Kajeng Kliwon memuja Bhatara Durga
c)      Hari Anggara Kliwon (Anggara kasih) memuja Dewa Ludra sebagai pelebur keburukan di dunia
d)     Hari Budha Kliwon, memuja Sang Hyang Ayu untuk mencapai kesucian batin
e)      Hari Budha Wage (Budha Cemeng), memuja Bhatara Manik Galih untuk mencapai ketentraman batin dan mengendalikan diri
f)       Hari Saniscara Kliwon (Tumpek), memuja Sang Hyang Parama wisesa untuk mengukuhkan keyakinan
g)      Hari Budha Kliwon Sinta (Pagerwesi), memuja Sang Hyang Pramesti Guru
h)      Budha Kliwon Dunggulan (Galungan), memuja Sang Hyang Pramesti Guru, para Dewa, Pitara sebagai kemenangan dharma melawan adharma
i)        Budha Kliwon Pahang (Pegat Uwakan), memuja Sang Hyang Maha Wisesa, Dewa, dan Bhatara sebagai rentetan terakhir upacara hari raya Galungan dan Kuningan.
j)        Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Ringgit), memuja Dewa Iswara sebagai Dewa Kesenian
k)      Saniscara Umanis Watugunung (odalan Sang Hyang Aji saraswati), memuja Dewi Ilmu Pengetahuan.
2.      Dewa Yadnya berdasarkan Purnama dan Tilem
Dijelaskan tentang beryoganya Sang Hyang Rwa Bhineda yakni Sang Hyang Candra seperti pada hari:
a)      Purnamaning Sasih Kapat, pemujaan terhadap Sang Hyang Parameswara atau Sang Hyang Puru Sangkara beserta para Dewa, Widyadara-widyadari, dan para Rsi Gana
b)      Purnamaning sasih kedasa; pemujaan terhadap Sang Hyang Surya Merta
c)      Tilem Sasih Kapat; juga dilaksanakan pemujaan terhadap kebesaran Tuhan yang telah memberkati umatNya
d)     Purnamaning Tilem Kapitu; melaksanakan malam Siwa/Siwa Latri
e)      Tilem Kasanga; dilaksanakan upacara menyambut tahun baru Caka, yang diawali dengan melis ke laut atau sungai. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara Tawur Kesanga. Sebagai puncak acara dilaksanakan Nyepi, yakni melaksanakan: Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan, Amati Lelanguan. Upacara ditutup dengan Ngembak Geni.
f)       Berdasarkan Purnama dan Tilem, setiap tahun sekali di Pura Besakih dilaksanakan upacara Dewa Yadnya pada sisih kadasa (Purnama) bernama Bhatara Turun Kabeh. Kalau setiap sepuluh tahun sekali dilaksanakan Panca Wali Krama, kemudian setiap seratus tahun sekali dilaksanakan Eka Dasa Rudra


3.      Upacara Dewa Yadnya yang sifatnya insiden
Dapat kita lihat dalam lontar Catur Weda, misalnya upacara: Melaspas, Memungkah, Catur Rebah, dan Nyatur Niri. Semua Yadnya mempunyai atura sendiri. Juga dalam lontar Bhama Kerti, dijelaskan ada upacara Matani Aluh, seperti: Matarin, Nemakuh dan Ngulapin.
Dalam lontar Sripurana, berarti dengan pertanian dilaksanakan upacara: mulai mengerjakan sawah, Byakukung dan Mantenin Padi.
Bahwa phala melaksanakan Dewa Yadnya dijelaskan dalam lontar Tatwa Kusuma Dewa, sebagai berikut:           
“Rahayu pahalaya yan mangkana, sadadyani kaya olih sadya kaduluran Whidi, haywa enam ngutpati Dewa astiti ring Sang Hyang Widhi.”

Artinya:
“selamat phalanya bila telah demikian seluruh sanak keluarga memperoleh penghasilan dikarunia Tuhan. Janganlah ragu-ragu ber Yadnya pada Dewa dan berbakti Pada Tuhan.”


3.2    Rsi Yadnya
Rsi Yadnya berarti persembahan suci kepada Brahmana atau para Rsi atas jasa beliau dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama.Kalau kita terima agama itu adalah sebagai obat maka para kaum Brahmana telah berjasa dapat memberikan obat kapada umat, sehingga umat memiliki kesehatan mental dan spiritual.
Kalau kita terima juga agama itu laksana obor, berarti para Brahmana memberikan suluh menghilangkan kegelapan bagi pemeluknya, berarti para Brahmana atau para Rsi telah berjasa menjadikan dunia cemerlang karena ilmu agama disebarkan dan dikembangkan oleh beliau kepada pemeluknya.
Demikian juga kalau diterima bahwa agama itu adalah memuliakan hidup berarti para Maha Rsi atau kaum Brahmana telah berjasa pula karena mereka dapat menuntun umat manusia untuk hidup lebih berkembang, menjadi manusia yang utuh.Manusia yang memiliki keseimbangan jasmani dan rohani.Dimana dalam agama Hindu dikenal dengan Molsartham Jagadhita.
Kalau kita menyadari diri kita ketika baru lahir mempunyai keadaan putih bersih belum tahu apa-apa, tapi sekarang kita melihat diri dan menyadari kita tahu membaca, menulis, berhitung, tahu pengetahuan agama, dan tahu ilmu-ilmu lain. Sesungguhnya itu terjadi atas jasa-jasa dari para arif bijaksana yang dengan tulus ikhlas menyebarkan pengetahuan itu. Bukankah hal di atas jasa para Rsi?. Bukankah kita mengakui kebodohan itu adalah penyebab kemelaratan, kesengsaraan di atas dunia ini?.Jadi melenyapkan kebodohan tugas besar Maha Rsi dalam mengemban yang berkelanjutan.
Di mana ada kaum arif bijaksana pengemban Dharma, di sana ada kemuliaan. Seperti apa yang telah dijelaskan dalam kitab Ramayana syair bait II yang berbunyi:
“Hana rajya tulya kendran,
Kawehan sang Mahardidhika susila,
Ringayoodya subhageng rat,
Yeka kadarwanirang nrepi.”
Artinya:
“Ada kerajaan bagaikan sorga, banyak disana orang arif budi luhur di sana pada keratin Ayodya yang sangat terkenal, itulah keratin beliau raja (Dasarata).”


Berkenaan dengan hal di atas kita harus menyadari bahwa untuk dapat mengambil bagian dalam hidup ini melaksanakan Rsi Yadnya maka kita harus mengemukakan cara-cara untuk melaksanakannya. Bagaimana suatu hidup atau langkah yang dapat dilaksanakan sebagai amalan Rsi Yadnya?. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a)      Hormat bakti kepada para Brahmana termasuk sikap pelaksanaan Rsi Yadnya
b)      Memberikan tuntunan kepada calon sulinggih
c)      Menobatkan seorang sulinggih
d)     Memberikan punia kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
e)      Menghaturkan daksina kepada para Rsi pada hari-hari tertentu
f)       Tekun mempelajari kitab-kitab suci
g)      Memperingati hari Saraswati
h)      Mengembangkan dan menyebarkan ajaran Weda
i)        Menggali, menghayati dan melaksanakan ajaran Weda

3.3    Pitra Yadnya
Pitra Yadnya merupakan persembahan suci kepada Pitra atau roh leluhur dan termasuk kepada orang tua yang masih hidup. Disadari atau tidak beban utang dari hutang orang tua atau leluhur cukup banyak dalam kitab Manu Smrti 11.227menjelaskan:
“Yam matapitaram klecam seheta sambhawe.
Nrnam na tasya niskrtih
Cakya kartum warsa catairapi”.
Artinya:
Penderitaan yang diabaikan oleh Bapak dan Ibu pada waktu lahir anak (bayi) tidak dapat dibayar walaupun dalam waktu seratus tahun.
Artinya:
Ingatlah jasa-jasa leluhurmu pada anak cucu serta pada seluruh sanak keluarga, patutlah membayar segala hutangmu pada Ayah Ibu.
Selain itu dalam lontar Kunti Yadnya dijelaskan:
“Kengetakna grtrani kawitanta,Tkeng anak putunta sukulaBretya nucara, me pwakitaPanahura hutanganta ring yayah bibi, panebusaning sarirakret ngaranya kasampurna dening yasa sembanta”.

Berdasarkan penjelasan di atas kita gambarkan bahwa kita wajib membayar hutang itu pada orang tua.Pembayaran hutang itu diwujudkan dalam bentuk Pitra Yadnya. Wujud-wujud tersebut dapat berbentuk seperti di bawah ini:
a)      Menghormati orang tua atau leluhur
b)      Sedapat mungkin dapat menuruti nasehat orang tua
c)      Menjamin orang tua setelah usia lanjut, termasuk di dalamnya menjamin makanan, kesehatan, atau hal yang menyangkut sandang pangan dan papan
d)     Mengajak orang tua bercakap-cakap sebagai cerminan cinta kasih keluarga
e)      Membuang, memelihara, menjaga tempat suci keluarga, termasuk Padharma
f)       Bila orang tua atau anggota keluarga ada yang meninggal, patut di kubur/di aben dan upacara-upacara rangkaiannya, seperti atiwa-tiwa atau uapacara Atma Wedana

Mengenai penjelasan Atiwa-tiwa, ngaben, Atma Wedana dapat diuraikan secara singkat seperti di bawah ini:

a.   Upacara Atiwa-tiwa
Upacara Atiwa-tiwa berkaitan dengan upacara kematian.Kalau di Kalimantan disebut Tiwah. Biasanya kalau dijumpai sanak yang menghembuskan nafas terakhir lazim diucapkan doa selamat seperti doa Pralina, yaitu:
“Murcantu, Swargantu, moksantu
Ong Ksama sampurnaya namah swaha”.
Artinya:
Semoga tenang dalam menghembuskan napas terakhir, mencapai sorga, mencapai moksa. Semoga sempurna.

Kemudian dapat dilanjutkan dengan pesetujuan keluarga dan kelihan adat apakah layak dikubur atau diaben, untuk itu dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
Bila dikubur urutan upacara seperti:
1)        Memandikan jenazah dan menjalankan upacaranya.
a.  Jenazah diturunkan dari pembaringan dan disembunyikan di atas/tandu dilengkapi dengan ulap-ulap, semua ini bertempat di natah pekarangan.
b.  Jenazah dalam keadaan telanjang lalu:
i.     Badannya diurapi boreh
ii.        Dikeramas, muka dibasuh, di gosok giginya (secara simbolis)
iii.      Satu persatu alat pembersih ditaburkan atau dipasang dengan diawali makerik kuku, memasang itik-itik pada ibu jari kaki, memasang itik-itik ibu jari tangan, masisig, makeramas, memasang bablonyoh di kaki, memasang daun intaran di kening, memasang gadung di dahi, pusuh menur di lubang hidung, cermin pada mata, waja pada gigi, daun tuwung pada kemaluan laki-laki, bunga tunjung untuk wanita, boreh anget pada perut, lenga wangi pada tubuh, memasang kwangen pada tubuh mayat dengan rincian: 1 buah di kepala, 1 buah di ulu hati, 1 buah di dada, 2 buah di siku kanan kiri, 2 buah di lutut kanan kiri.
c.  Mewastra: dikenakan kain, kampuh, daster putih untuk laki-laki. Dikenakan kain, selendang putih untuk perempuan.
d.  Metirta: menciptakan tirta penglukatan, pembersihan, dan tirta kawitan dari almarhum.
e.  Jenazah dibungkus dibungkus atau dililit dengan kain putih.
f.  Keluarga dan anak cucu menyembah
g.  Dengan dibungkus tikar, jenazah diusung lagi ke tempat pembaringan. Dilengkapi dengan saji banten arepan, seperti kubur pirata, nasi angkeb, saji sebagai bekal roh menuju akhirat.
h.  Mapegat: dilengkapi dengan banten mapegat atau sambutan. Bagi keluarga yang patut dengan cara pertama sembahyang ke hadapan Bhatara Surya, setelah itu memberikan doa sembah ke hadapan almarhum/almarhumah.
2)    Mengusung mayat ke kuburan
a.  Loyan diusung ke kuburan di antar oleh sanak saudara, kerabat dan warga  banjar adat bila memungkinkan baik sekali diiringi dengan lagu-lagu keagamaan dan tetabuhan seperti angklung untuk menambah hikmatnya upacara.
b.  Dalam perjalanan, pada jalan simpang tiga atau empat, serta di lubang kuburan usungan jenazah di putar 3 kali ke kiri dan ke kanan baru dilanjutkan dengan mendem sawa.
3)    Mendem sawa
            Sawa dipendam/kubur.Hal ini dilakukan di kuburan dan tidak boleh di pekarangan rumah atau pekarangan desa adat.Caranya peti mayat dibuka terlebih dahulu lalu jenazah disemayamkan di kuburan.
a.  Jenazah diperciki tirta dengan urutan:
     i.          Tirta penglukatan
     ii.         Tirta pembersih
iii.                Tirta pengentas
iv.                Tirta kawitan
v.                  Tirta kahyangan tiga
b   Dilengkapi dengan upacara banten pesaksi
     i.          Banten untuk Sang Hyang Praja Pati
     ii.         Banten untuk ibu pertiwi
iii.                Banten untuk sedahan Setra atau Pengulun Bambang



b    Bila jenazah di aben 
Upacara Ngaben wajib dilaksanakan oleh umat Hindu. Ngaben disebut juga palebon, atau magesengyang artinya sama, yaitu pembakaran mayat.
Tujuan dilaksanakan upacara Ngaben adalah untuk mengembalikan Stula Sariraatau badan wadag yang terdiri dari Panca Maha Bhuta dalam Buana Alit kepada Panca Maha Bhuta yang bersumber pada Bhuana Agung.Selain itu bertujuan untuk meningkatkan kesucian roh yang telah meninggal, yakni dari roh orang yang berstatus Preta menjadi Pitara bahkan menjadi Dewa Hyang Pitara. Untuk proses pengembalian Panca Maha Bhuta ke Bhuana Agung, dikenal dengan sistem pembayaran mayat, yang disebut: Sawa Wedana, Asti Wedana dan Swasta Wedana.
1)      Sawa Wedana
Sawa Wedana disebut juga Sawa Preteka.Artinya mengupacarai jenazah orang yang baru meninggal.Sering juga dalam masyarakat disebut ngaben dadakan, sifatnya segera. Menurut lontar Yama PurwanaTatwa dan Pubha Sasana, tata cara seperti ini dibenarkan dan disebut dengan istilah Mependem Ring Giri, megenah di petulangan. Melalui sistem Sawa Wedana ini, dilaksanakan dengan cara sebagi berikut:
a.   Jenazah saat di rumah, dibersihkan sesuai dengan upacara mependem. Selanjutnya jenazah diusung ke kuburan.Setelah tiba di kuburan, jenazah mengelilingi tempat pembakaran tiga kali ke kiri.Setelah itu disemayamkan di tempat pembakaran yang telah disediakan.
b.   Jenazah dletakkan di atas petulangan atau tempat pembakaran, lebih awal pembungkus kain dan tikar dibuka. Kemudian dilanjutkan upacara metirta, pertama dipercikkan tirta:
      i.          Penembak
      ii.         Pengelukatan
iii.                Pengentas
iv.                Kawitan
v.                  Kahyangan Tiga
c.   Di atas dada jenazah diletakkan bekal roh seperti:
      i.          Canang tujuh tanding
ii.         Beras catur warna, masing-masing satu ceper warna: putih, merah, kuning, dan hitam.
d.   Setelah selesai upacara seperti di ataslalu jenazah di bakar dengan apiupacara.
e.   Setelah jenazah menjadi arang, lalu dituangkan air tawar yang disebut penyeeb.
f.   Arang itu dikumpulkan lagi ditaruh di atas senden, lalu disiram dengan air kumkuman,kemudian dimasukkan ke dalam kelapa gading yang berwujud puspa ati. Abu yang lain diwujudkan manusia simbolis, kemudian dipasang kwangen. Pemasangan kwangen dikelompokkan, yaitu:
                  1)         Kelompok garis lurus dari:
                              i.          Dahi
                              ii.         Kerongkongan
iii.                Ulu Hati
iv.                Pusar
v.                  Antara pusar dengan kemaluan
vi.                Antara kemaluan dengan pantat
2)         Kelompok Panca Budindria
            i.          Mata
            ii.         Hidung
iii.                Mulut
iv.                Lidah
v.                  Telinga
3)         Kelompok Panca Karmendria
            i.          Perut
            ii.         Kemaluan
            iii.        Pantat
            iv.        Tangan
            v.         Kaki
g    Kelengkapannya disertai banten upacara pesaksi ke Mraja Pati, Pengulun Setra, bubur pirtata, nasi angkep, banten arepan, ketupat panjang, diuskamaligi, puspa, rantasan untuk rekayasan. Pemangku atau pendeta memimpin upacara persembahyangan dari sanak keluarga almarhum. Persembahan itu ditujukan kepada: Hyang Surya, Mraja Pati, Kahyangan Tiga dan sesuhunan (kawitan). Setelah tiba, diawali dengan upacara daksina, pras penganyutan dan wangi-wangian, barulah abu dibuang ke sungai.Dengan demikian selesailah sudah tahapan upacara Sawa Wedana itu.

2)   Asti Wedana
      Asti Wedana adalah mengupacarai jenazah setelah menjadi tulang. Tata caranya seperti di bawah ini:
a.   Mempermaklumkan ke Pura Dalem. Yang akan di aben, tegteg dipermaklumkan ke Pura Dalem. Dilengkapi dengan peras, penyeneng, daksina pejati, suci, ketipat dan segehan.
b.   Ngulapin ke Mraja Pati, tegteg dituntun ke Mraja Pati disertai upacara peras, daksina, pengulapanan, pengabenan, segehan dan sayut.
c.   Ngangkid: tegteg diusung ke setra ke tempat terkubur orang yang akan diaben. Di atas kuburan diselenggarakan upacara ngangkid dengan sarana: suci, peras, penyeneng, daksina, pujung, segehan berisi jeroan mentah, tabuh tuak arak. Setelah upacara ini berakhir,kuburan dibongkar, tulang-tulang diambil, dibersihkan, lalu disusun kembali seperti semula.
d.   Pada bangbang yang telah dibongkar, menghaturkan banten: suci, peras, daksina, dan sembelihan ayambulu hitam. Setelah itu bangbang ditumbun secara simbolis.
e.   Ngeringkes: upacaranya serupa dengan banten pengeringkesan Sawa Wedana.
f.    Ngeseng: upacaranya sama dengan upacara Sawa Wedana.
g.   Ngayut: sama dengan upacara Ngayut Sawa Wedana.

3)   Swasta Wedana
            Swasta adalah upacara Pitra Yadnya yang dilaksanakan dengan tidak mengupacarai mayat dalam bentuk tulang-belulang atau jasad.Melainkan bentuk itu dapat diganti dengan bentuk kusa atau alang-alang.Selain itu, dapat juga diwujudkan dengan air sebagai Toya Sarira. Tata pelaksanannya sama dengan tahap-tahap pelaksanaan Asti Wedana. Mulai dari mempermaklumkan ke Pura Dalem sampai dengan Ngayut.Hanya ada perbedaan sedikit, kalau dalam ngaben Swasta tidak ada langkah ngangkid tulang seperti dalam Asti Wedana.

4)   Ngelungah
            Dikenal lagi upacara ngaben yang disebut Ngelungah.Upacara ini dilakukan bagi jenazah yang masih anak-anak.Ketentuannya ini adalah bagi anak-anak yang berumur di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal maka diaben Ngelungah.Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila meninggal almarhumhanya dikubur saja.Namun, anak yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang dewasa.
      Adapun tata caranya adalah:
a.   Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka, daksina, ketipat, kelanan, telor bekasem dan segehanputih kuning.
b.   Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina dan peras.
c.   Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan ketipat kelanan.
d.   Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara: sorohan, pengambian, pengulapan, peras daksiana, klungah nyuh yang disurat Omkara.
e.   Banten pada roh bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb sari, punjang dan banten bajang.
f.    Tirta pangrampuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara memohon pada bhatar/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci.Bila selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan kembali.

5)   Upacara Atma Wedana
            Upacara Atma Wedana disebut juga nyekah.Upacara ini dilaksanakan setelah selesai upacara Sawa Wedana.Tujuan upacara ini adalah untuk meningkatkan kesucian roh orang yang meninggal.Semula preta menjadi pitara bahkan menjadi Dewa Hyang Pitara.Sejalan dengan ini juga berarti mengembalikan atma ke paramaatma.Nama-nama untuk upacara ini ada yang menyebut nyekah, ngerorasin, mukur, melinggih dan juga ngeluwer. Pelaksanaan upacara ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
      a.   Ngajum
Makna upacara ini adalah memanggil Sang Hyang Atma(roh), karena dibuatkan upacara sekah. Upacara Ngajum ini disertai seperangkat sesajen dan pelaksanaan upacaranyapagi hari dib alai Pawedan yang dituntun oleh pemimpin upacara beserta dikerjakan oleh senta dan prati Santana. Upacara ngajum ini termasuk upacara utpati.
      b.   Upacara Ngayab
Pelaksanaan upacara ini termasuk upacara Shtiti Sang Hyang Atma.Upacara ini dilakukan setelah kembali dari beji.Dipimpin oleh sulinggih dilengkapi dengan saji, ayaban dan seperangkat banten.Kemudian dilanjutkan persembahyangan oleh anak cucu dan prati sentananya.

c.    Upacara Mapralina
Upacara ini dilakukan pagi hari di depansanggah pesaksi. Sekah diturunkan dari balai upacara, segala menjadi satu kesatuan sekah segera dibakar di atas senden.Bila semua telah terbakar lalu disiram dengan air kumkuman.Kemudian dilumatkan dengan tebu dan cabang dapdap.Hasil lumatan itu dimasukkan ke dalam kelapa gading dan dihanyutkan ke laut atau sungai.
Tiga hari setelah upacara mepralina, dilanjutkan dengan upacara ngeremekin.Maksud upacara ini adalah mempermaklumkan bahwa penyucian roh terhadap orang yang meninggal telah selesai.Bila tahapan ini sudah selesai, maka dapat dilanjutkan dengan ngelinggihang Dewa Hyang Pitara di Pura Kawitan sebagai pura penyungsungan leluhur.Bila dikaitkan dengan Panca Yadnya, upacara ngelinggihang ini sudah termasuk Dewa Yadnya.Sebagai renungan, orang yang belum mengerti tentang Pitra Yadnya ini, mereka dengan cepat mengatakan upacara ngaben ini adalah pemborosan.Boleh saja, sebab bila direnungkan lebih jauh lagi bukanlah pemborosan.Tetapi upacara agama Hindu ini adalah membantu untuk memutar ekonomi masyarakat. Sebab dalam kesempatan seperti ini orang yang kaya akan mempergunakan harta bendanya untuk mewujudkan semangat rela berkorban. Maka dari itu ia membuat upacara yang utama tingkatannya. Namun bagi umat yang tidak mampu, dapat membuat utamaning nista.Nista bukan berarti hina dan rendah, melainkan semua tingkatan mengandung arti mulia bila didasarkan atas ketulusan ber-Yadnya.
Berdasarkan pikiran sepintas, kiranya uang yang banyak itu dialihkan dan disumbangkan pada fakir miskin.Diketahui agama Hindu tidak mengajarkan bagaimana melalui Yadnya ekonomi masyarakat berputar. Akibatnya orang yang bisa rajin bekerja dan menyadari etos kerja, sebab kerja apapun yang didasari pada cinta kasih dan dikerjakan secara sungguh-sungguh akan menunjang kehidupan kita. Bukan umat diarahkan kerja meminta-minta.Jadi, berkaitan dengan ini dapat ditegaskan pelaksanaan ngaben ini bukanlah semata-mata pemborosan, melainkan mengandung unsur gotong-gotong royong, pendidikan kerja dan rela berkorban tentunya.Sesuai dengan semangat ber-Yadnya untuk melangsungkan pemeliharaan hidup.

3.4  Bhuta Yadnya
Bhuta Yadnya adalah persembahan suci yang ditujukan pada bhuta kala.Tujuannya adalah untuk memelihara, menyucikan, dan nyupat bhuta kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia.Dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan adanya ajaran tentang unsur Panca Maha Bhuta, yang dikenal sebagai pembentuk Buana Agung dan Buana Alit.
Tingkatan kehidupan di alam ini bertingkat-tingkat, mulai yang terendah sampai yang tertinggi.Tingkat yang terendah dimulai dari Panca Maha Bhuta, kemudian tumbuh-tumbuhan, lalu binatang dan manusia.Demikianlah tingkatan hidup secara sekala. Kalau secara niskala, dikenal tingkat kehidupan mulai dari peri, jin, setan, gamang, tonya, banaspati, danawa dan sebagainya. Kehidupan ini lebih rendah daripada Dewa, sifatnya bertentangan antara raksasa, kala, bhuta dengan Dewa itu. Bila dikaitkan dengan tujuan Bhuta Yadnya yang berarti memelihara, menyucikan dan nyupatdapat dilihat sebagai berikut:


a.   Tujuan memelihara:
Mengandung pengertian mengatur serta menjaga keharmonisan alam.Alam dengan makhluknya mempunyai hubungan kehidupan yang erat.Bila hubungan itu terganggu, hidup takkan lagi harmonis.
Misalnya:
Keadaan Panca Maha Bhuta sebagai pembentuk alam yang terdiri dari unsur-unsur: pertiwi,apah teja, bayu dan akasa. Masing-masing unsur itu artinya zat padat, zat cair, zat panas, zat udara dan zat ether.Ia adalah sebagai pembentuk alam, bila tak dijaga keseimbangannya, kehidupan di dunia ini takkan harmonis lagi. Katakana saja pertiwi atau tanah, bila tanah dibiarkan gundul maka kehidupan akan terganggu, akibatnya bisa mendatangkan banjir, selain itu tanah yang gundul akan menyebabkan kekeringan yang melanda. Terlebih bila hutan ikut dibabat, sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi bukan?.Oleh karena itu secara nyata manusia melaksanakan Bhuta Yadnya misalnya dengan melaksanakan reboisasi, atau menanam pohon pada lahan yang kering.Contoh seperti ini masih banyak kita jumpai dalam kehidupan ini.

b.   Tujuan menyucikan alam:
      Mengandung makna membersihakan alam dari polusi, karena tingkah laku manusia yang tidak mamiliki pengetahuan Bhuta Yadnya, maka dari itu manusia berbuat serakah.Selain membuat hutan seprti yang telah dicontohkan di atas, juga membuang limbah industry sembarangan, lebih-lebih pada sumber-sumber air.Juga pemakaian zat-zat kimia secara tidak tepat dan berlabihan, pada sector industry, pertanian maupun yang lainnya.Membuang sampah secara sembarangan juga menyebabkan polusi pada tanah, di samping berkembambangnya sarang penyakit, dan masih banyak tindakan manusia yang dapat merusak keseimbangan alam, maka harus disucikan dengan Bhuta Yadnya. Kemudian untuk mengulangi Panca Maha Bhuta agar tak menjadi manah, maka agama hindu mengajarkan konsep Tri Mandala. Alam lingkungan diatur sebagi berikut:
a.         Utama Mandala adalah untuk tertatanya lingkungan. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya, maka dari itu disediakan siatu tempat suci.
b.         Madya Mandala adalah areal untuk tartatanya sebagai tempat tidur.
c.         Nista mandala adalah areal untuk tempat jemuran, kamar kecil, dan tempat pembuangan sampah. Telah disediakan rupa, bila keseimbangan Tri Mandala itu sudah diatur dengan bagus menjadilah suatu tempat layak huni. Disana akan tampak keharmonisan antara keutuhan bangunan dengan tata letak dan tata ruang.

c.    Tujuan Nyupat bhuta Kala:
      Nyupat mengandung makna meningkatkan status hidup atau keadaan dari Buta Kala menjadi tingkatan yang bagus dan bermakna. Seperti keadaan batu, tanah, tumbuh-tumbuhan, binatang, yang keadaannya semrawut statusnya ditingkatkan dengan cara misalnya: diatur agar terlihat lebih menarik, seperti pada penataan taman misalnya. Contoh lain, anjing yang status hidupnya rendah karena masih liar dan galak, dilatih supaya lebih berguna. Kembali pada tujuan nyupat, maka yang bersifat niskala mempergunakan sarana-sarana seperti banten segehan atau banten caru.Dengan banten itu diharapkan status Bhuta kala dapat dipelihara, disucikan dan disupat tentunya agar menjadi Dewa kemudian dapat memberikan kebaikan pada kehidupan manusia.Selain itu dapat dilihat banten Bhuta Yadnya mempunyai tingkatan dari yang terkecil sampai yang paling besar.Disebut dengan nista, madya dan utama. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Upakara Nista
Upakara Bhuta Yadnya yang kecil disebut segehan, bentuk segehan sangat sederhana, bahannya dari nasi dengan dilengkapi bawang, jahe, garam, arang dan disertai canang.Semua ini mengandung makna simbolis tersendiri. Segehan ada beberapa jenis antara lain: segehan kapal, segehan cacahan, dan ada juga segehan agungm, segehan agung sudah dalam jenis yang lebih besar. Bantyen segehan tatkala dihaturkan pada Bhuta kala menggunakan api tangkep yang dibuat dari sabut kelapa, disertai pemercikan tetabuhan yang terdiri dari arak berem secara lengkap.

b.Tingkatan Upakara Madya
                              Banten atau upakara Bhuta Yadnya dalam tingkat madya sudah mempergunakan dasr ayam dan banten tersebut dinamakan Caru. Jenis-jenis caru yakni:

1)      Caru ayam brumbun
Ayam brumbun terdiri dari lima macam warna dalam satu ekor ayam. Ayam itu diolah sedemikian rupa menjai satu dasar banten caru ayam brumbun, yang disebut juga caru pengruwak. Penggunaannya pada piodalan di Mrajan atau Pura sebagai perombakan suatu tmpat, pembukaan hutan, peletakan batu pertama suatu bangunan suci, permulaan penggunaan bangunan seperti: bale banjar, rumah, pura dan lain-lain.
2)      Caru Panca Sata
Dasar banten Bhuta Yadnya menggunakan lima ekor ayam yang masing-masing mempunyai bulu yang berbeda. Seperti ayam putih, ayam biying, ayam putih siungan, ayam hitam dan ayam brumbun. Masing-masing olahan ayam itu ditaruh sesuai dengan warna kiblat mata angin seperti:
a.         Ayam putih di timur
b.        Ayam biying di selatan
c.         Ayam putih siungan di barat
d.        Ayam hitam di utara
e.         Ayam brumbun ditengah

Penggunaan Caru Panca Sata ini dapat dilakukan pada upacara melaspas, mapedaging dan lain-lain menurut petunjuk pemimpin upacara. Cara Panca Sata ini menjadi dasar bagi pelaksanaan caru besar, yaitu caru: caru panca sanak, panca kelud, balik sumpah, tawur, pesapuh-sapuh, panca wali karma, eka dasa ludra, lingia merebu dan nyegjeg gumi.
3)      Caru Panca Sanak
Menggunakan dasar caru panca sata ditambah dengan asu bang
Bungkem dan bebek bulu sikep.
4)      Caru Panca  Kelud
Menggunakan dasar Caru Panca Sanak hanya saja ditambah lagi binatang kambing, dan angsa.
5)      Caru Balik Sumpah
Caru ini tidak digunakan secara umum, tetapi hanya pada tempat-tempat tertentu saja.Seperti misalnya bila ada karang angker, tempat itu sering terjadi bencana, pertengkaran, perkelahian, pembunuhan, kejahatan dan lain-lain.Tentu saja dari petunjuk para sulinggih.

c.Tingkatan Upakara Utama
upakara Bhuta Yadnya dalam tingkatan ini sudah menggunakan binatang sebagai dasar cara dalam jumlah yang lebih besar dan juga menggunakan binatang kerbau. Adapun yang termasuk  jenis caru ini adalah:
1)      Tawur
Caru tingkat tawur dipergunakan setiap tahun sekali yakni setiap datangnya tahun baru saka.Disambut dengan diawali melaksanakan tawur kesanga. Binatang yang dipakai dalam upacara tawur adalah sebagai dasar lima ekor ayam dan binatang lain, seperti di atas ditambah satu ekor binatang  kerbau.
2)      Caru Pesauh-sapuh
Dasar caru seperti di atas, tetapi ditambah tiga ekor kerbau.
3)      Panca Wali Krama
Dasar caru ditambah lima ekor kerbau.
4)      Eka Dasa Rudra
Dasar caru mempergunakan bebagai jenis binatang, dari binatang peliharaan sampai dengan binatang hutan, burung dan jaga ditambah dengan binatang laut, serta binatang korban 26 ekor.

3.5  Manusa Yadnya
            Manusa Yadnya adalah persembahan suci kehadapan sesama.Tujuan melaksanakan korban suci ini adalah untuk pembersihan lahir batin.Pembersih lahir batin ini dilakukan setiap hari, setiap saat dan berkelanjutan.Dengan demikian diharapkan pada akhirnya agar atma dapat manunggal dengan parama atma.
            Berdasarkan tujuan dan pengertian Manusa Yadnya yang telah diuraikan di atas, maka satu putaran hidup manusia dapat dilihat berkali-kali dilaksanakan upacara Manusa Yadnya terhadap seseorang itu.Boleh jadi pembersihan bayi sejak dalam kandungan, sampai bayi lahir, dan menjadi dewasa, serta sampai mengakhiri hidupnya.
            Weda Parikrama menjelaskan, tubuh dibersihkan dengan air, pkiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa dan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.Berkaitan dengan hal ini berarti kita membersihkan diri terhadap semua hal di atas.
            Agama Hindu dalam prakteknya yang berkaitan dengan pembersihan roh jasmani dan roh rohani tidak bias terlepas dari  menggunakan banten sebagai  wujud korban dan berkaitan dengan Manusa Yadnya. Hal ini sangant bersifat spiritual.Pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari dapat berwujud material dan juga spiritual.Misalkan uang, nasi, air atau hal-hal yang temasuk dalam sandang, pangan dan papan.Kemudian pemberian ilmu pengetahuan, nasihat, petunjuk, jasa dan sejenisnya adalah yang bersifat spiritual.Sifat pemberian seperti di atas, bila didasarkan atas ketulusan hati menurut lontar slokantara disebut Stvikdana.Bila pemberian itu dikaitkan dengan unsure pamrih, walaupun sedikit adanya dalam batas wajar disebut Rajasikdana.Bila suatu pemberian mempunya ikatan pamrih keuntungan yang banyak hal ini disebut Tamasikdana.
            Kembali pada pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan sarana banten, dilaksanakan dalam masa-masa transisi.Masa sekarang ini dipandang mempunyai nilai baik untuk dibuatkan pembersihan spiritual.
       Adapun waktu-waktu yang dipandang baik untuk melaksanakan upacara itu adalah ketika:
       a.  bayi dalam kandungan dibuatkan upacara pagedong-gedongan.
       b.  bayi baru lahir dibuatkan upacara mapag rare.
       c.  bayi tatkala kepus puser dibuatkan upacara kepua puser.
       d.  bayi sua belas hari dibuatkan uapacara lepas hawon
       e.  bayi berumur 42 hari dibuatkan upacara kambuhan
       f.   bayi berumur tiga bulan dibuatkan upacara nyambutin
       g.  bayi berumur enam bulan dibuatkan upacara oton.
       h.  bayi baru tumbuh gigi dibuatkan uapacara ngampugin.
       i.   anak giginya tanggal untuk pertama kalinya dibuatkan upacara makupak.
       j.   anak sudah meningkat remaja dibuatkan upacara ngraja.
       k.  anak menjadi dewasa dibuatkan upacara matatah.
       l.   bila ia ingin mendalami ilmu kerohanian maka dibuatkan upacara mawinten.
       m. bila ia ingin membentuk rumah tangga maka dibuatkan upacara pawiwahan.

            Dengan demikian sudah jelas bahwa satu putaran hidup menjadi manusia banyak sekali dibuatkan upacara Manusa Yadnya. Di zaman perkembangan umat Hindu sekarang ini, Manusa Yadnya yang diberikan pada anak akan lebih berguna bila peningkatan sumber daya manusia itu diantisipasi dengan lebih awal. Oleh karena itulah agar anak-anak merasa lebih mandiri dan berdaya guna nanti ia patut diberikan jaminan hidup yang cukup, fasilitas pendidikan dan terdidik.
           
            Untuk mengetahui makna yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnyaakan diuraikan satu persatu secara singkat, yaitu:
a.    Upacara Pagedong-gedongan
Upacara pagedong-gedongan disebut juga upacara garbhadana.Tujuan upacara ini adalah memohon keselamatan jiwa araga si bayi yang ada dalam kandungan.Diharapkan melalui upacara ini bayi yang lahir dalam keadaan selamat, kemudian dapat hidup, tumbuh menjadi yang berguna bagi masyarakat.
Menurut lontar kuno Drestiupacara Garbhadanaini baik dilaksanakan setelah kandungan berumur lima atau enam bulan kalender, karena pada saat itulah pertumbuhan janin sudah sempurna berbentuk sosok bayi utuh berbadan laki atau perempuan.
Selain melaksanakan upacara seperti di atas, orang tua menjadi wajib melaksanakan brata dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya orang tua jangan berucap “Wakcapala” artinya berkata-kata kotor. Selain itu orng tua wajib melaksanakan “Wakpurusia” artinya tidak berkata yang dapat menyakitkan hati orng lain. Termasuk juga selalu memelihara ikatan cinta kasih dalam membina rumah tangga.Bila brata seperti di atas tidak dilaksanakan maka dikhawatirkan sifat buruk di atas dapat berkibat buruk bagi bayi dalam kandungan.Agar batyi mendapat pengaruh yang baik, sebaiknya orang tua berperilaku positif, misalnya membaca buku-buku kerohanian, wiracerita, atau cerita-cerita yang bersifat tuntunan budi luhur.
b.    Upacara mapat rare
Ketika bayi baru lahir, dibuatkan uapacara mapat rare. Tutuannya mengucapakan syukur kepada sang Hyang Dumadi, bahwa bayi dapat lahir dengan selamat. Melalui upacara ini, diharapkan Sang Hyang Dumadi menjiwai bayi tersebut, dapat hidup dhurgayusa dhirgayu. Berkaitan dengan bayi baru lahir perlu diketahui cara memelihara tembumi.
Tembumi dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah dua, juga dimasukkan duri-duri.Seperti duri terong, nawar dan sebagainya.Dan dilengkapi juga dengan sirih lekesan, kelapa yang dibungkus ijuk, kain putih baru.Ditanam sebelah kanan pintu masuk, kalau bayi laki-laki dan sebelah kiri kalau bayi perempuan.
Saat memendam ke bumi mengucapakan mantra:
“ong sang ibu pertiwi rumsga bayu,
ruange amerta sanjiwani,
angemertaning sarwa tumarah…[wong bayi]
mangda dirgayusa nugtugan tuwuh”

artinya:
ya Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ibu pertiwi laksana sumber kehidupan, memberikan hidup kepada semua makhluk, semoga panjang umur dan selamat.

Setelah itu tembumi serta ditindih dengan pohon pandan, lalu dihaturkan banten segehan kepada catur warna.Lengkap dengan bawang, jahe, garam serta canang satu pasang.
c.    Upacara Kepus Puser
Tujuannya pembersihan tempat suci bangunan pekarangan.Puser dikeringkan dengan rempah-rempah dan disimpan di tempat tidur si bayi, saat si bayi diasuh oleh Sang Hyang Kumara.
d.    Upacara ngelepas hawon
Setelah bayi berumur dua belas hari dibuatkan suatu upacara ngelepas hawon dengan tujuan bayi tetap sehat selamat dan panjang umur.
e.    Upacara kambuhan
Upacar ini sering pula disebut upacara mecolongani. Tujuannya adalah:
1)    melakukan pembersihan jiwa raga si bayi, denagn cara mengupacarai nyama bajang. Banyak nyama bajang ada 108, antara lain: bajang colong, bajang bukal, bajang yeh, bajang lengis, bajang bejulit, bajang kebo, bajang ambengan, bajang papah, bajang tukal, bajang dodot, bajang sapi dan lain-lain. Semua jenis bajang di atas berfungsi membantu ketika bayi dalam kandungan, sehingga menjadikan wujud yang sempurna.Maka dari itu kekuatan bajang perlu disucikan agar si bayi mendapat kerahayuan.
2)    membersihkan ibu bapa si bayi dengan suatu banten pahyakala, prayascita dan banten tataban. Maksudnya setelah bayi berumur 42 hari, diharapkan orang tua bayi dapat memasuki tempat-tempat suci. Ketika dilaksanakan upacara inilah, baru peetama kali si bayi dimohon penglukatan terhadap Bhatara Brahma, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa serta Sang Hyang Guru di sanggah kemulan.
f.   Upacara Nyambutin
upacara nyambutin terlaksana setelah bayi berumur tiga bulan atau 105 hari. Tujuan upacara ini dalah:
1)    memepertegas nama si bayi
2)    membersihkan jiwa raga si bayi
Serangkaian upacara nyambutin bias disertai dengan upacara turun tanah. Tujuannya adalah memohon keselamatan terhadap ibu pertiwi atas kehidupan anak berkaitan dengan tanah.
g.  Upacara satu oton
Setelah anak berumur 210 hari atau enam bulan, dibuatkan upacara satu oton.Sering juga disebut weton.Kata ini berasal dari kata ‘wetuan’, yang mana wetu berarti lahir. Kata wetu ditambah ‘an’ menjadi wetuan(weton) artinya kelahiran. Sering juga disebut wedalan.Kata wedalan, berasal dari kata wedal yang berarti lahir. Kata ini sama artinyadengan medal. Tujuan upacara oton ini adalah untuk memperingati hari kelahiran seseorang atau sesuatu. Dasar untuk menentukan hari lahir ini adalah pertemuan sapta wara dengan paca wara, dan wuku, misalnya: hari buda kliwon sinta, kemudian lagi enam bulannya (210 hari) jumpa lagi dengan hari yang sama, maka disebut satu oton sebagai hari lahir seseorang. Jadi, itulah yang dipakai pedoman dalam memperingati otonan seseorang. Bagi umat Hindu, akan sangat baik bila oton ini dirayakan berkelanjutan bahkan sampai akhir hayat.
h.  Upacara ngempugin
artinya adalah melaksanakan upacara setelah anak tumbuh gigi untuk pertama kalinya. Tujuannya memohon keselamatan kepada Bhatara Surya, Bhatara Dewi Sri agar gigi anak tumbuh dengan baik.
i    Upacara Mekupak
upacara  mekupak dilaksanakan ketika gigi anak tanggal untuk pertama kalinya atau pada oton pertama. Pergantian gigi susu dengan gigi dewaa adalah menandakan anak sudah berubah status dari anak menjadi remaja. Pada masa ini Sang Hyang Kumara tidak lagi mengasuh anak itu.Saat ini anak dioasuh oleh Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Dewi Ratih.Setelah mekatus inilah anak sudah mempersiapkan diri untuk menuntut ilmu. Apakah pra sekolah atau taman kanak-kanak, ataukah langsung pada sekolah dasar.
j.   Upacara Menek Deha
Upacara menek daha ini sering disebut dengan ngraja.Yang artinya meningkat dewasa. Tujuan upacara ini adalah  memohon tuntunan kepada Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih agar seseorang yang diupacarai dapat kekuatan dan mengatasi godaan-godaan yang mungkin terjadi ketika menghadapi panca roba, dapat diketahui masa peralihan dari anak menjadi dewasa merupakan masa-masa yang rawan bagi anak. Ia berada dalam masa pubertas pertama.
Mereka sudah mulai bisa menerima godaan asmara, insane yang berlainan jenis. Bila kurang waspada anak sering salah langkah.Maka Dari itu umat Hindu, selain memberikan pendidikan sikap yang berkaitan dengan etika juga mohon tuntunan pada Dewa, agar umatnya menjadi selamat melewati masa panca roba tersebut, melalui upacara menek daha ini.
k.  Upacara Metatah
Bila anak sudah dewasa, Eka Dasa Indria pada dirinya berfungsi dengan energik. Mungkin terjadi dalam masa ini indria-indria itu lebih memberikan kesempatan Sad Ripu menggoda diri manusia.bila terjadi kemungkinan di atas, Sad Ripu dapat menyusupi perilaku seseorang yang mana dapat menyebabkan rusaknya perilaku orang tersebut. Oleh karena itu dibuatkan upacara matatah dengan tujuan untuk mengendalikan pengaruh Sad Ripu dalam diri anak.
Pelaksanaan upacara metatah ini dilengkapi dengan seperangkat banten upacara saran simbolis gigi pada rahang atas ditatah sebanyak enam buah, terdiri dari empat gigi seri, dan dua buah taring. Pada enam buah gigi itu, ujung geriginya sebagi lambang pengaruh adharma ditatah, agar terbentuk ujung gigi yang rata lambang dharma.Jadi diharapkan dharma tetap mengendalikan hiodup seseorang anak yang telah ditatah itu.Inilah dalam masyarakat dilkatakan “ngedasang daki”.Artinya membersihkan kotoran anak. Maksudnya tiada lain kekuatan Sad Ripu agar dikendalikan oleh kekuatan dharma, sehingga perilaku anak mencerminkan budi luhur.
l.   Upacara Mawinten
Seseorang yang baik, dibuatkan upacara Mawinten.Lebih-lebih bagi orang yang mempelajari ilmu kerohanian. Tujuan upacara ini adalah memohon tuntunan kehadapan Bhatara Guru, Dewi Saraswati agar beliau menuntun kecerdasan pada umatnya dalam mempelajari ajaran suci, yakni ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan ilmu agama Tattwa, Yadnya dan Susila.


m. Upacara Pawiwahan
Bila anak sudah cukup dewasa lahir dan batin, serta tahu ketrampilan sebagai pegangan kerja, maka sudah pantas membentuk suatu rumah tangga.Pembentukan rumah tangga baru ini diawali dengan upacara pawiwahan. Tujuannya adalah:
1           Mohon pesaksian kehadapan Sang Hyang Widhi, Bhuta Kala dan manusia sebagai  Tri saksi.
2           Mohon dibersihkan secara spiritual terhadap bibit yang terdapat pada suami dan istri.
Diharapkan atas pertemuan  kedua bibit itu membuahkan hasil, yaitu anak saputra. Tidak cukup hanya pembersihan bibit itu saja, tentu dengan disertai sikap perilaku luhur oleh orang tua untuk mendidik, menyediakan jaminan hidup yang berkelanjutan.Jadi, modal cukup banyak diperlukan untuk mewujudkan anak yang saputra.Menurut lontar kuno Dresti, bila ada anak yang lahir di luar nikah (tanpa upacara pawiwahan), anaka itu disebut “Rare Dya Dyu”.Agama Hindu tak mengharapkan hal tersebut terjadi, yang mana hal itu jauh dari harapan anaka saputra.













BAB 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar